Sebuah foto yang dipublikasikan Museum Digital KTLIV menunjukkan kegiatan seorang penenun. Gambar diambil di suatu kawasan di Aceh Besar. |
Dalam kurun waktu abad ke-16 dan ke-17 M, sutera menjadi bahan dagangan utama yang diangkut melalui lautan di wilayah tersebut. Giovanni da Empoli, seorang penjelajah asal Portugis menyatakan bahwa Raja Pase pernah menjanjikan ekspor sutera negerinya kepada bangsa Portugis.
Menjelang abad ke-19 produksi sutera telah dapat ditemukan di pesisir barat, di mana Pidie dan Aceh Besar tetap menjadi pusat industri sutera terkemuka. Hingga kini, masih dapat ditelusuri jejak tenun sutera Aceh antara lain di Desa Siem, Aceh Besar.
Sutera juga menjadi komoditi utama perdagangan dari wilayah Aceh. Sutera tersebut dijual kepada bangsa Gujarat sebagai bagian dari barter dengan kain dari Cambay serta barang dagangan lainnya yang mencapai taksiran harga 100.000 dukat. Pada abad ke-15 dan ke-16 kain India merupakan barang dagangan yang sangat dikenal luas.
Uniknya, meskipun Aceh telah dapat menghasilkan sendiri bahan sutera dan katun, namun kain imporlah yang menjadi pakaian sehari-hari mereka. Di satu sisi, impor Aceh terhadap banyak jenis kain dari anak benua India dilakukan dalam rangka memenuhi permintaan dari sejumlah jaringan pelabuhan di nusantara. Sementara di sisi lain, Aceh melakukan ekspor besar-besaran hasil kain produksinya.
Koleksi-koleksi desain songket Aceh yang bernilai istimewa disimpan di Museum Leiden oleh Kreemer, seorang ahli etnologi asal Belanda. Pilihan motif pada kain tersebut memiliki tingkat kerumitan yang tinggi. Di samping itu, kain tersebut memiliki kekayaan pilihan warna, gelap, dan mencakup banyak nuansa.
Disadur dari buku Tangan-tangan Terampil karangan Barbara Leigh
Diceritakan kembali oleh Azhar Ilyas, dengan penambahan seperlunya.
No comments:
Post a Comment